Jumat, 10 Juni 2011

Bumi Nusantara merindukan sentuhan kepemimpinan seperti era kepemimpinan sosok Sang Mahamantrimukya Mpu Mada

by Agung Aang on Monday, March 23, 2009 at 8:34pm
Tidak biasanya aku memiliki gairah menulis catatan yang berbau sejarah dan bersifat sosial-politis seperti ini, ak sendiri sama sekali tidak memahami kehadiran gairah menulis catatan ini saat ini. Klo ada pertanyaan kenapa atau karena alasan apa baru sekarang? Aku sama sekali tidak tau. Apakah karena saat ini adalah momen yang tepat menjelang pertarungan akbar pergantian kepemimpinan nasional ataukah ada alasan yang lain?Akan aku jawab, mungkin. Yang jelas sudah selama hampir 2-3 bulan terakhir ini, seperti kata istriku, aku lagi gandrung sama sosok yang aku sebut pertama di atas, sebagai konsekuensi logisnya semua literatur yang berkaitan dengan perjalanan hidup dan pencapaian2-sosok tsb aku lahap habis semua. Tidak kurang dari semua buku novel karangan LKD (semua 5 judul tak borong dan khatamin) termasuk juga novel2 sejenis dari pengarang2 yang lain, literature2 baik yang ada dan dipublish di dunia maya maupun di media cetak. Sampai2 untuk lebih mendapatkan gambaran yang jelas atas pencapaian2-nya di masa itu, tidak kurang aku beli juga peta Nusantara di Zaman keemasan Majapahit yang menggambarkan luasnya daerah kekuasaan Majapahit, yang terbentang dari timur Onin, Dompo, sampai ke barat Tumasek, Pahang, dan sampai ke Tj Pura, Makassar, Ternate dan Mindanao nun jauh di utara. (klo tertarik peta-nya ada dijual di outlet2 Gramedia)

Aku benar2 sulit membayangkan kejayaan semacam apa yang telah beliau capai pada saat itu, dengan melihat semua fakta catatan sejarah masa lampau yang tergambar di atas. Dan yang lebih membuatku kagum bin terkesima adalah fakta bahwa beliau bisa mencapai segala pencapaian sebagai perwujudan impiannya seperti itu dalam rentang waktu yang kurang dari 30 thn saja (klo gak salah di pertengahan abad 13)

Dari sosok seorang Gajah Mada sendiri aku mendapatkan kesimpulan setidaknya untuk diriku sendiri, bahwa beliau adalah gambaran sosok seorang yang sederhana dari kalangan rakyat jelata (bukan dari kalangan bangsawan / Arya), yang mengawali segala sesuatunya dari bukan siapa-siapa. Namun yang semata sederhana dan bukan siapa-siapa itu telah membuktikan bisa dan mampu untuk bermimpi besar, berusaha dan bekerja sangat keras, termasuk menyisihkan segala kesenangan pribadi dan segenap interest diri lainnya demi untuk mewujudkan segala impian besarnya.

Tidak banyak catatan sejarah yang berhasil mengungkap siapa jati dirinya yang sesungguhnya, dari mana berasal, dari keluarga siapa, siapa orang tuanya, bahkan kapan dan dimana beliau wafat (apa bener?), termasuk makam dan petilasannya tidak diketahui orang. Sebagian orang hanya mengetahui bahwa beliau mengawali kareer dibidang keprajuritan (kemiliteran) dan berakhir sebagai Mahapatih Amangkubhumi dizaman keemasan Majapahit, diera duet kepemimpinan Prabu Hayam Wuruk dan Mahamantrimukya Mpu Mada, itu saja. Yang selalu akan diingat orang selain dari segala pencapaian kejayaan buah dari segenap kerja kerasnya adalah sumpah beliau yang terkenal i.e. "Sumpah Palapa", yang diucapkan diawal beliau menerima mandat dan kepercayaan dari Sang Prabu sebagai Mahapatih Amangkubhumi, sebagian orang mengartikannya sebagai sumpah untuk tidak memakan buah Palapa, sebelum tercapai segala cita-citanya untuk tanah air Majapahit, sebagian lagi mengartikannya sebagai cetusan sumpah yang menggambarkan pilihan garis hidupnya untuk lebih memilih "Hamukti Lara Lapa" yang kurang lebih berarti lebih memilih hidup dalam puasa (tirakat) atas segala kesenangan dan nikmat duniawi disepanjang hidupnya untuk suatu tujuan yang telah dicita-citakan, dan daripada sekedar "Hamukti Wiwaha" seperti halnya kebanyakan cita-cita manusia hidup di dunia pada umumnya, yaitu kemulyaan hidup dengan segala kebahagiaan dunia, keluarga, kemakmuran, kejayaan pangkat, kemuliaan dimata masyarakat, dsb.

Pilihan hidup yang beliau ambil itulah yang menjadi salah satu sumber inspirasi dalam catatan-ku saat ini, disamping ambisi besar yang beliau abdikan demi kejayaan bangsa dan negaranya.Tidak banyak orang yang berani dan mampu bermimpi besar untuk sesuatu, demikian pula tidak banyak orang yang pada akhirnya berhasil mencapai dan mewujudkan impian dan cita2nya. Terlebih2 lagi jika hal itu terjadi di masyarakat dengan akar budaya 'Jawa' yang terkenal "nriman ing pandhum". Orang yang memiliki ambisi dan cita2 yang terlampau besar menurut ukuran masyarakat-nya, akan cenderung mendapat cibiran dan cemoohan mulai dari jangan terlalu muluk2, awas keblinger, dll. Tidak kurang hal yang sama juga terjadi dan dialami sendiri oleh Sang Mahapatih Gajah Mada pada saat pertama mengumandangkan sumpahnya di hari penobatan dirinya di Tratag Rambat Bale Manguntur (istana) Wilwatikta, tidak kurang dari rekan2 dekat-nya sendiri bahkan pula Sang Raja Putri Paduka Kembar menertawakan isi sumpah Sang Mpu Mada, dan menganggap isi sumpah itu tidak lebih dari sebatas guyonan hiperbolis Sang Mahamentrimukya.

Namun tidak demikian dalam pandangan Gajah Mada, yang menurut kesan yang saya dapat adalah sosok manusia yang kuat, baik dalam arti yang sesungguhnya secara fisik lahir yang dimiliki dan juga kepribadian yang kuat. Dalam pandangan Gajah Mada, hal2 apa yang menurut pandangan orang pada umumnya tidak dapat dicapai atau terlalu tinggi untuk dicapai bukan berarti tidak dapat dicapai, apalagi untuk seorang Gajah Mada yang mengucapkan segala sumpahnya dengan segenap hati yang tidak sekedar dengan mulut. Gajah Mada yang saya kenal bukanlah pula sosok yang bodoh yang hanya ngomong sekedar njeplak, yang tidak faham betul atas konsekuensi apa yang harus ditanggung dengan terucapnya Sumpah itu, bahkan menurut saya dia adalah sosok yang cerdas, justru karena dia tahu bahwa apa yang diucapkannya bukanlah hal yang mustahil, maka beliau merelakan segala kepentingan yang melekat pada dirinya. Masih menurut pandangan Gajah Mada, tidak ada yang mustahil dengan cita2nya, klo dibutuhkan usaha yang ekstra keras untuk mencapai cita2 itu, ya itu pasti, oleh karena itu sebagai gantinya beliau merelakan segala kebahagiaan dan kesenangan hidupnya, bahkan termasuk tidak menutup kemungkinan juga terhadap keinginan untuk berkeluarga, beristri, dan memiliki keturunan, jika hal itu dipandang akan berpotensi menjadi penghalang dirinya terhadap pencapaian cita2nya, tidak akan ragu dia meniadakan keinginan seperti itu.

Kalau toh catatan sejarah dikemudian hari menunjukkan bukti2 dan fakta keberhasilan usahanya untuk mencapai cita2-nya yang besar tidak lebih dan tidak kurang adalah karena segala usaha kerasnya dan juga laku tirakatnya dengan mengesampingkan segala kesenangan dan kebahagiaan hidupnya sebagai bagian dari usaha mendekatkan diri dengan Tuhannya untuk mencapai cita2nya yang berlangsung selama bertahun-tahun (bahkan puluhan tahun). Banyak hal yang harus dibayar mahal atas segala usaha dalam mencapai cita2nya, tanpa secuilpun keraguan, dengan pendekatan tanpa kompromi dan dengan konsistensi langkahnya, tidak kurang dari hambatan dan kendala dari Sang Raja-nya sendiri Sang Gagak Ketawang, dalam tragedi Perang Bubat yang tragis, segala sesuatu akan dia libas jika dia lihat sesuatu itu akan berpotensi. menghalanginya dalam mencapai cita2nya.

Terlepas dari segala pendekatan2nya yang cenderung bertangan besi, yang tidak kenal kompromi, tidak kenal ragu-ragu, satu hal yang tetap membuat saya takjub, adalah kebesaran hatinya dan mungkin juga sebagian adalah juga ketetapan hatinya, yang ditunjukkan dalam menyikapi murka Sang Raja setelah perang Bubat usai, dengan menerima secara ikhlas dan rela segala keputusan Sang Raja yang manandai akhir karir kepemimpinannya, tanpa sedikit-pun tergoda untuk mengambil alih kekuasaan Sang Raja yang Murka padanya, meskipun jika melihat konteks situasi dan suasana saat itu hal itu sangatlah mungkin beliau ambil, mengingat akar pengaruhnya pada saat itu di perangkat negara Majapahit dimungkinkan melebihi akar pengaruh dari Sang Raja sendiri. Namun demikian disitulah tampak dengan jelas letak kenegarawanan Sang Gajah Mada, dengan telah mengambil sikap untuk lebih mementingan sumpah sucinya yang dilamari semangat mengabdi dan berbakti kepada Bumi Pertiwi Majapahit dan bukanlah semata atas dan untuk kejayaan dirinya sendiri.

Itulah, tentunya tidaklah terlalu mengherankan jika diakhir hayatnya, beliau cenderung mengasingkan diri, beliau berpesan tidak menginginkan dirinya di candikan atau dibuatkan petilasan atau sebatas makam (bahkan sebagian orang lebih sering menyebutnya Moksa daripada mati), karena beliau sama sekali tidak menginginkan orang2 dikemudian hari lebih mengenang dirinya daripada Majapahit sendiri. Sebuah paket pilihan hidup yang sudah beliau ambil berpuluh tahun sebelumnya.

Dalam konteks ajang pemilihan kepemimpinan Nasional dewasa ini, kembali terbersit pertanyaan menggoda di kepala saya…siapa yach dari kontestan yang ada yang sanggup dan bisa mewarisi semangat Sang Gajah Mada dalam mengharumkan bumi Nusantara ini? atau setidaknya siapa yach yang memiliki karakter yang mirip?, atau mungkin kiranya siapa yach yang berani dan rela mengambil pilihan hidup seperti dia? untuk kemudian ditutup dengan pertanyaan .."kira2 kapan yach bangsa Nusantara ini kembali mendapatkan sentuhan kepemimpinan seperti Sang Mahamentrimukya?Bukankah sejarah berulang?Bukankah sejarah adalah juga media untuk mewariskan semangat?...Wallahu a'lam bis shawab.

Tribute to P. Langit Kresna Hariadi dengan mahakaryanya "Gajah Mada"

March '09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar